Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah petani setiap tahun semakin berkurang. Pada 2014, jumlah petani di Indonesia tercatat berjumlah 38,97 juta. Lalu pada tahun berikutnya menyusut menjadi 37,75 juta jiwa dengan usia rata-rata di atas 45 tahun.
Menurut Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian Suwandi, penurunan jumlah ini seiring dengan proses transformasi ekonomi dari negara agraris menuju negara industri. "Proses transisi ini semakin terlihat dengan berkembangnya industrialisasi dan penghiliran produk pertanian," kata dia.
Mekanisasi pertanian juga menjadi faktor negatif karena menghemat tenaga kerja. Efeknya tentu buruk, karena jika stok petani terus berkurang, keran impor harus dibuka lebar-lebar guna mengisi perut rakyat Indonesia yang saat ini berjumlah 255 juta jiwa.
Mimpi Indonesia berdaulat di bidang pangan perlahan sirna. Tapi ada secercah harapan di tangan anak muda yang dengan sadar dan sukarela bersedia kembali ke desa, menjadi petani.
Seperti Nur Agis Aulia, 27 tahun, pemilik Jawara Banten Farm yang mulai menjadi petani empat tahun lalu. Agis adalah sarjana lulusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Universitas Gadjah Mada dengan predikat cum laude. Sebelum menjadi petani, dia sudah diterima bekerja di salah satu badan usaha milik negara yang bonafide.
Bagi sebagian besar anak muda, bekerja di perusahaan bonafide adalah mimpi setelah lulus kuliah. Tapi Agis justru memilih menjadi petani sekaligus memberdayakan masyarakat di sekitarnya. "Setelah melihat potensi pertanian dan peternakan di Banten, saya putuskan untuk belajar. Menjadi petani itu asyik dan menjanjikan sukses dunia akhirat," tutur dia.
Modal uang bukanlah segalanya untuk menekuni bisnis pertanian. "Modal pertama yang saya miliki adalah jaringan dan sedikit ilmu tentang bisnis pertanian," kata dia. Adapun modal uang, menurut dia, hanyalah sebesar Rp 20 juta dari hasil beasiswa yang disimpannya.
Agis lalu mengumpulkan teman-temannya yang memiliki visi sama. Lalu, dia mulai merintis usaha peternakan dan pertanian. Sadar bahwa ilmunya sangat terbatas, dia belajar ke Bogor. Pemuda asal Desa Sandilawang, Serang, ini belajar dari nol mengenai teknik budi daya dan manajemen pertanian selama tiga bulan.
Semasa kuliah dia sering berkunjung ke desa-desa untuk melakukan berbagai macam tugas lapangan. Pengalaman itu membuatnya tidak asing dengan dunia pertanian. "Secara autodidaktik saya belajar bertani dan beternak."
Ketertarikannya akan pengembangan masyarakat ia kolaborasikan dengan usaha pertanian dan-peternakan. Supaya masyarakat sekitar tertarik bergabung, ia aktif mensosialisasi usahanya sejak tahap perencanaan hingga pengembangan bisnisnya.
Tapi ternyata mengajak masyarakat ikut serta tak semudah membalik telapak tangan. Penyebabnya, masyarakat kebanyakan pragma tis.masih memegang pola lama, dan cenderung baru sadar dan percaya jika ada contohnya. APalagi, ada stigma negatif yang melekat pada sarjana yang kembali bertani. "Dicap sebagai sar z jana gagal," kata dia.
Dia perlahan-lahan mengubah pola pikir tersebut. Hasilnya positif, masyarakat yang melihat sendiri kesuksesannya tertarik bergabung. Agis lantas membuat kelompok tani Hijau Daun. Dia juga mendirikan komunitas Belajar Bangun Desa bagi anak-anak sekolah dasar.
Saat ini, Agis memasok Sayur-Sayuran, bawang, cabai, mentimun, dan terong untuk daerah Banten. Olahan susu kefir dipasarkan ke area Banten. Di samping itu, dia memasarkan kambing, domba, sapi ke area Jakarta, Bogor, Depok. Tangerang, dan Bekasi. Saat ini, dia memiliki lebih dari 15 mitra bisnis.
Agis juga tengahmengem-bangkan bisnis organik. "Saat ini masih uji coba di lahan kelompok tani hijau daun seluas 40 hektare," kata dia. Prinsipnya ke depan, limbah kotoran hewan ternak akan dijadikan pupuk dan beberapa buah lokal akan diolah menjadi Pestisida organik.
Soal pertanian organik, sekelompok pemuda di Banyuwangi sudah melakukannya lima tahun lalu. Ahmed Tessario, 26 tahun, Shohib Qomad (30), Abdul Rahman (26), dan Samanhudi (54) mendirikan usaha pertanian beras organik di bawah payung usaha Sintario Organik Indonesia.
"Konsep pertanian kami berbeda, karena kami menggarap dari hulu ke hilir. Mulai dari mencari petani mitra, sertifikasi lahan, hingga menjual ke toko langsung,"kata Shohib. Mereka butuh waktu persiapan setahun untuk melakukan riset, mencoba, hingga merancang sistem. Pada awal 2012, barulah Sintario resmi berjalan.
Mereka lalu mencari petani yang bersedia menjadi mitra binaan. Shohib mengatakan Sintario sangat tegas menerapkan prosedur operasi standar (SOP). "Setiap pekan ada petugas yang memantau dan berkomunikasi dengan petani di lapangan," kata dia. Tujuan menegakkan SOP, kata dia, adalah untuk menaikkan kualitas beras merah organik.
"Minimal BEP (break even point) kalau sedang ada wabah hama."
Shohib merasa pertanian organik sangat menguntungkan petani. Sebab, dengan menerapkan 100 persen cara-cara organik, petani dapat menghemat ongkos produksi Rp 2-2,5 juta per hektare. Sebaliknya, harga jual produknya lebih tinggi ketimbang pertanian konvensional.
Saat ini Sintario memberdayakan 123 petani dengan kontrak empat tahun. "Syarat untuk menjadi petani mitra binaan adalah tidak chemical minded, dekat dengan sumber air, dan harus memiliki lahan sendiri," dia menuturkan.
Hasil produksi petani kemudian didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan pasar Jawa Timur dan Denpasar. Selain itu, mereka akan segera merambah ekspor ke Australia dengan jumlah sekitar 14 ton per bulan dan sedang menjajaki ekspor ke Amerika Serikat.
Di Bogor, tepatnya di Desa Sukaresmi, Ciapus, ada sekelompok anak muda yang menggeluti organik, persiapannya tak mudah. Syaratnya, antara lain lahan mesti diistirahatkan minimal dua tahun, lalu ada sertifikasi organik.
Mereka lantas melakukan banyak riset hingga menemukan pertanian hidroponik. Sistem ini dilirik karena kualitas produknya bagus dan nilai jualnya tinggi.
Setelah mantap bertani dengan cara hidroponik, mereka belajar ke petani hidroponik yang sukses. Meskipun punya latar belakang pendidikan di bidang pertanian, mereka tak mau jumawa. "Kami belajar dari nol lagi," kata dia. Proses perencanaan dan riset langsung ini dilakukan selama setahun.
Menurut Herdian, modal awal untuk menjalankan kebun Sayur hidroponik mereka berkisar Rp 80-100 juta. "Ada angel investor yang bantu untuk modal," kataprialulusanAgroteknik ini. Lahan seluas 250 meter persegi yang digunakan merupakan lahan milik orang tua Andro.
Selain berkutat dengan peningkatan kualitas bayam merah dan bayam hijau, Herdian dan timnya mengembangkan bisnis instalasi yang digunakan untuk bertanam hidroponik. Satu paket instalasi mereka jual sekitar Rp 4 juta. Paket instalasi yang mereka buat kini mendarat di Kelompok Wanita Tani Sentul dan Badan Ketahanan Pangan.
Di sinilah pembinaan dilakukan. Herdian tak melakukan "jual lepas" begitu saja. "Pasti kami berikan latihan sedikit-sedikit, lalu dipantau sampai setidaknya berhasil panen satu kali," kata Herdian.
Transfer ilmu juga dilakukan Herdian dan timnya dengan menjadi dosen tamu. Terakhir, mereka diundang menjadi dosen tamu untuk sekitar 90 mahasiswa di Universitas Singaperbangsa, Karawang.
Sayangnya, masyarakat di sekitar tempat mereka bercocok-tanam belum terlalu peduli dengan apa yang mereka kerjakan. Meski demikian, Herdian dan rekan-rekannya terus membuat masyarakat tertarik menggeluti bisnis yang sama.
"Caranya dengan kasih Sayuran ke PAUD sebelah, dari situ ada yang mulai penasaran dan bertanya-tanya," kata dia.
Saat ini, Fruitable Farm menjual produknya ke distributor di bawah label doriginai yang memasok untuk Superindo, Total, dan All Fresh. "Sehari rata-rata baru bisa 20 kilogram." kata Herdian. Menurut dia, mereka berencana menambah luas lahan dan memaksimalkan instalasi. Tujuannya, supaya tak lagi menjadi petani plasma.
Suwandi mengatakan Kementerian Pertanian mpmi)iIri banyak program untuk menggenjot sektor pertanian, yang tidak cuma menyentuh aspek permodalan. Beberapa di antaranya adalah revisi regulasi yang menghambat, pembangunan infrastruktur lahan dan air, produksi benih unggul, mekanisasi pertanian, Tata niaga yang baik, pengendalian impor, serta mendorong ekspor.
Untuk menggenjot jumlah petani muda, kata dia, Kementerian Pertanian telah merancang banyak inisiatif. Seperti Gerakan Pemuda Tani yang mendorong pemuda secara berkelompok terjun ke sawah. "Pemerintah menyiapkan benih, pupuk, dan sarana lainnya untuk mereka bertani."
Saat ini, kata Suwandi, petani usia muda di bawah 40 tahun berjumlah sekitar 13,39 juta yang sebagian besar bekerja di subsektor pangan. Para petani muda ini, dia mengungkapkan, sangat berpotensi mengantarkan kemajuan pertanian.
Anak-anak muda ini berpotensi melahirkan banyak temuan seperti penyilangan benih unggul, mengembangkan pupuk organik sendiri, hingga menemukan teknis pengendalian hama.
Supaya petani muda ini makin optimal mengembangkan pertanian, ada lembaga riset dan balai pendidikan dan latihan milik Kementerian Pertanian yang siap membina mereka. Suwandi mengatakan, demi memaksimalkan potensi petani muda, Kementerian memberangkatkan 1.200 petani muda magang ke Negeri Sakura.
Namun Agis merasa pemerintah masih kurang maksimal dalam membina dan mengembangkan potensi petani muda. Dia menganggap peran pemerintah hanya maksimal dalam acara-acara seremonial. "Ada yang cenderung mengerjakan proyek yang mendatangkan keuntungan pribadi, tanpa ada niat serius mengembangkan petani," kata dia.
Tapi setidaknya ada hal yang bisa dimanfaatkan dari sekian banyak program pemerintah. Seperti Fruitable Farm yang berhasil mendapatkan pendanaan sebesar Rp 35 juta. "Ini akan kami gunakan untuk mengembangkan pertanian kami, sekaligus mengembangkan pemberdayaan masyarakat." kata dia.