Lahan Gambut Indonesia Masalah penting | PUPUK HANTU MULTIGUNA Lahan Gambut Indonesia Masalah penting ~ PUPUK HANTU MULTIGUNA

Rabu, 01 November 2017

Lahan Gambut Indonesia Masalah penting


RESTORASI LAHAN GAMBUT INDONESIA HARUS BERLANJUT



Kebakaran lahan gambut Indonesia yang terjadi pada tahun 2015 merupakan permasalahan penting yang tidak hanya berdampak pada aspek lingkungan, tetapi juga aspek ekonomi dan kesehatan masyarakat . Menurut World Bank (2016), kerugian akibat terbakarnya lahan gambut dan hutan selama Juni-Oktober 2015 di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan keuntungan usaha yang melibatkan pembakaran lahan gambut. Jika 2,6 juta hektar lahan yang terbakar pada 2015 dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, nilai manfaat ekonominya hanya sekitar Rp 109,8 triliun, sementara kerugian akibat kebakaran mencapai Rp 221 triliun.
Kebakaran lahan gambut dan hutan juga masalah penting menyebabkan lumpuhnya aktivitas bisnis dan sekolah. Kualitas udara yang buruk dengan Indeks Standar Polusi mencapai level ambang batas 1.000 mengakibatkan gangguan pernapasan dengan lebih dari 500.000 orang menderita ISPA. Ditambah lagi dengan total emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer sebesar 11,3 juta ton/hari, melebihi emisi karbon harian yang dihasilkan seluruh negara uni eropa untuk periode yang sama (Harvard Study: 2016). Analisis dampak tersebut hanya memperhitungkan jangka pendek yaitu kerugian pertanian, kehutanan, perdagangan, kesehatan, sosial dan pariwisata. Dampak jangka panjang seperti hilangnya jasa lingkungan dan risiko kanker belum diperhitungkan, itu berarti negara menanggung kerugian yang lebih besar.
Lahan gambut yang begitu luas (> 20 juta hektar) di Indonesia berperan sangat penting bagi berlangsungnya kehidupan jutaan masyarakat Indonesia. Kesuburan lahan gambut dapat menjadi sumber makanan dan air bersih bagi masyarakat serta menjadi habitat bagi biodiversitas fauna langka Indonesia seperti Orangutan dan Harimau Sumatera. Gambut juga berperan untuk mencegah kekeringan, menahan banjir, dan mencegah bercampurnya air asin untuk kepentingan irigasi di area pertanian. Terkait dengan isu perubahan iklim, gambut menyimpan lebih dari 30% cadangan karbon dunia yang tersimpan di tanah sehingga berperan penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi. Kemampuannya menyimpan karbon dua kali lebih banyak dari hutan di seluruh dunia, khususnya di wilayah tropis seperti Indonesia (CIFOR: 2017).
Komitmen Restorasi Gambut Dinanti
Komitmen Indonesia dalam menghadapi permasalahan kebakaran lahan gambut dan hutan tercantum dalam dokumen tekad kontribusi nasional (INDC) Paris Agreement dengan target skenario penurunan emisi di sektor hutan dan gambut sebesar 19% secara mandiri dan 23,1% dengan bantuan internasional. Keseriusan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mengelola ekosistem gambut pasca kebakaran tahun 2015 juga ditindaklanjuti dengan terbentuknya Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang BRG. Isi pokok Perpres tersebut adalah sebagai berikut :
“BRG mempunyai tugas mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut pada Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.”�
Adapun gambaran mengenai luas areal gambut yang menjadi prioritas BRG untuk mencapai target restorasi hingga tahun 2020 tersaji pada grafik di bawah ini.


Lahan gambut indonesia
Lahan gambut indonesia


Kehadiran BRG, dengan program kerja yang jelas dan adanya bantuan teknologi serta funding dari negara maju, memberikan harapan bagi pencegahan kebakaran lahan gambut dan pengelolaannya yang lebih lestari.
Upaya restorasi lahan gambut dapat mencontoh kesuksesan restorasi gambut Kushiro di Hokkaido Jepang. Metode Kushiro dilakukan melalui beberapa tahapan meliputi perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Dibawah komando badan khusus konservasi lingkungan, upaya restorasi dimulai dengan pendekatan dan persiapan pemerintah besama pakar, LSM dan masyarakat lokal. Pekerjaan fisik yang dilakukan yaitu dengan menutup kanal lebih dari 2 km, menormalisasi sungai alami dan menggunakan teknologi pemantauan yang real-time serta terintegrasi (SESAME). Sensor SESAME mampu memantau kebasahan, ketinggian muka air, suhu udara dan curah hujan. Restorasi Kushiro dilakukan secara serius dan dipantau untuk mengukur indikator keberhasilan restorasi. Lima tahun setelah restorasi gambut Kushiro selesai, laju sedimentasi berhasil dikurangi serta meningkatkan jumlah dan keragaman populasi ikan endemik.
Pencegahan kebakaran lahan gambut juga dapat dilakukan dengan metode yang dilakukan di Sarawak, Malaysia, dengan menjaga gambut tetap lembab, bukan berair. Metode yang digunakan adalah dengan kompaksi atau pemadatan gambut berporositas 0,1 gr/cm3 menjadi 0,2 gr/cm3 yang bertujuan untuk meningkatkan gaya kapiler. Selain itu, menjaga kedalaman air permukaan kanal sebesar 60 cm pada lahan yang dipadatkan juga dapat menjaga kelembaban dan memudahkan tanaman menyerap air. Metode ini terbukti mampu mencegah kebakaran pada saat musim kemarau dan meningkatkan produktivitas tanaman budidaya hampir dua kali lipat per tahunnya. Metode kompaksi ini dapat diterapkan pada lahan gambut yang tidak terpengaruh pasang surut dan jauh dari pesisir, karena beresiko mempercepat penurunan permukaan lahan (subsidensi).
Penyelesaian berupa solusi teknologi saja bukan merupakan solusi yang berkelanjutan dan sering berkaitan dengan kenaikan biaya peningkatan infrastruktur dan pemeliharaan di masa depan. Oleh karena itu diperlukan kesadaran serta partisipasi masyarakat sebagai solusi pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan.
Hal ini dapat dilakukan melalui penciptaan bisnis baru komoditi di lahan gambut dengan mengatur pembudidayaan tanaman yang selaras dengan karakteristik lahan setempat. Untuk lahan gambut di Sumatera Selatan dapat membudidayakan tanaman lokal seperti ramin, nanas, jelutung, punak, dan meranti rawa yang bisa diintegrasikan dengan budidaya perikanan. Di Kepulauan Meranti Provinsi Riau dan Papua dapat dikembangkan sagu. Di Kalimantan Selatan, lahan gambut di tepian sungai dapat dimanfaatkan untuk budidaya padi, jagung, karet, dan kelapa. Penerapan teknologi pertanian organik dan praktik kelola tanpa bakar juga bisa dilakukan untuk pemulihan lahan. Inisiatif ini telah dilakukan oleh Kelompok Tani Mekarsari di Kabupaten Tanjung Jabung, Jambi dan perlu diterapkan di provinsi prioritas restorasi gambut lainnya.
Potensi budidaya tanaman lokal di lahan gambut dengan tanpa resiko kerusakan ekologis harus dioptimalkan oleh masyarakat untuk meningkatkan perekonomian. Diperlukan peran institusi atau NGO terkait untuk menjadi fasilitator dalam memberdayakan masyarakat melalui pengembangan budidaya tanaman ramah gambut yang bernilai secara ekonomi. Fasilitator harus mampu mengidentifikasi potensi lokal, memiliki rancangan program yang jelas, dan mampu menciptakan mekanisme pasar hasil budidaya tanaman lahan gambut.
Selain itu juga diperlukan peningkatan kapasitas pengetahuan masyarakat dalam mengelola lahan gambut dan kesadaran untuk melestarikan lingkungan. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan pemanfaatan crowdsourcing pantaugambut.id, yaitu platform online yang menyediakan akses terhadap informasi mengenai perkembangan kegiatan dan komitmen restorasi ekosistem gambut.
Upaya restorasi melalui rekayasa teknologi dan peran serta masyarakat yang dilakukan dengan terstruktur, matang, bisa direalisasikan, dan adanya kolaborasi konstruktif membuat kita optimis bahwa target restorasi 2 juta hektar lahan gambut di Indonesia dapat tercapai pada tahun 2020 hingga berlanjut dengan praktik pengelolaan gambut yang lestari pada tahun berikutnya



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India